Politik dan Kekuasaan
Published on Kamis, 23 Mei 2013
09.17 //
Pustaka
Pengertian Politik
Sebagaimana diketahui, bahwa Ilmu
politik mempelajari suatu segi khusus dari kehidupan masyarakat yang
menyangkut soal kekuasaan. Tumpuan kajian ilmu politik adalah
bermacam-macam kegiatan dalam suatu proses sistem politik (negara) yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan tersebut (Miriam Budiharjo, 1992). Sistem itu
menurut Deliar Noer (1983) meliputi sistem kekuasaan, wibawa, pengaruh,
kepentingan, nilai, keyakinan dan agama, pemilikan, status dan sistem
ideologi.
Menurut
Syarbani (2002:13), tumpuan kajian ilmu politik adalah upaya-upaya
memperoleh kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaaan,
dan bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan. Dengan demikian dilihat
dari aspek kenegaraan, ilmu politik mempelajari negara, tujuan negara,
dan lembaga negara, serta hubungan kekuasaan baik sesama warga negara,
hubungan negara dengan warga negara, dan hubungan antar negara. Apabila
dilihat dari aspek kekuasaan ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam
masyarakat, yaitu sifat, hakikat, dasar, proses, ruang lingkup, dan
hasil dari kekuasaan itu. Dilihat dari aspek kelakuan, ilmu politik
mempelajari kelakuan politik dalam sistem politik yang meliputi budaya
politik, kekuasaan, kepentingan, dan kebijakan.
Melihat
penjelasan di atas, kajian ilmu politik meliputi: (1) teori ilmu
politik, (2) lembaga-lembaga politik (undang-undang dasar, pemerintahan
nasional, pemerintahan daerah, fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintah
dan perbandingan lembaga-lembaga politik), (3) partai politik, dan (4)
hubungan internasional.
Minimal
ada enam hal yang ditekankan dalan ilmu politik, yaitu kekuasaan,
negara, pemerintahan, fakta-fakta politik, kegiatan politik, organisasi
masyarakat. Sedangkan obyek ilmu politik meliputi dua hal yaitu, (1)
material (obyek ini berwujud pada perjuangan memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan dengan obyek negara, kekuasaan, pemerintah,
fakta-fakta politik, kegiatan politik, dan organisasi masyarakat). dan
(2) formal (pengetahuan, pusat perhatian). Dengan demikian, Syarbaini
menyimpulkan ada lima konsep tentang ilmu politik, yaitu (1) sebagai
usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan
kebaikan bersama, (2) segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
negara dan pemerintah, (3) segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari
dan mempertahankan kekuasaan, (4) kegiatan yang berkaitan dengan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum, dan (5) sebagai konflik dalam
rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Sementara itu, menurut Maran (1999) politik merupakan studi khusus tentang cara-can manusia memecahkan
permasalahan bersama dengan manusia yang lain. Dengan kata lain,
politik merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik
atau negara yang menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan
tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan itu perlu ditentukan
kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau
alokasi sumber-sumber dan berbagai sumber dava vang ada. Untuk itu
diperlukan kekuatan {power) dan kewenangan {aiitliorlty).
yang dipakai baik untuk membina kerja sama rnaupun untuk menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses tersebut. Kekuasaan itu bisa
dipakai secara persuasif bisa juga secara koersif (paksaan) Definisi
lebih sederhana tetapi padat dapat dilihat dari pendapatnya Surbakti
(1999) yang mengcitakan bahwa konsep politik merupakan intcraksi antara
pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pcmbuatan dan pdaksanaan
keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal
dalam suatu wilayah tertcntu.
Arti politik yang terekam dari berbagai referensi ilmu politik disimpulkan terdapat tiga penjelasan. Pertama, rnengidentifikasikan
kategori-kategori aktivitas yang membentuk politik. Dalam hal ini Paul
Conn menganggap konflik sebagai esensi politik. Kedua, menyusun
suatu rumusan yang dapat merangkum apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai politik. Politik dapat dirumuskan sebagai “siapa mendapat apa,
kapan dan bagaimana”. Ketiga, menyusun daftar pertanyaan yang
harus dijawab untuk memahami politik. Melalui daftar pertanyaan
diharapkan dapat memberi jawaban dengan gambaran yang tepat mengenai
politik (Surbakti, 1992). jadi politik akan terkait dengan kekuasaan,
negara dan pengaturan hidup bersama dalam upaya mencapai kebaikan
bermasyarakat.
Selain itu, dapat diketahui bahwa konsep-konsep pokok yang dipelajari ilmu politik adalah negara {state), kekuasaan (power), pengambilan kebijakan (decision making), kebijaksanaan (policy, beleiri), dan pembagian (di’-tribution), atau alokasi (allocation).
Singkatnya,
ilmu politik selain mempelajari tentang interaksi antara pemerintah dan
masyarakat untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, yang
berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah melalui perumusan
dan Pelaksanaan kebijakan umum, juga membicarakan tentang berbagai
upaya perebutan mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Menurut Weber, sosiologi harus bebas nilai (value free),
tidak bias kepentingan atau keyakinan moral pribadi. Bias personal
harus dihindari selama melakukan riset ilmiah. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin objektivitas kebenaran sosiologi.
Dari konseptualisasi sosiologis yang disumbangkan oleh para tokoh ilmu sosial, selanjutnya dijadikan pijakan dalam merumuskan ruang lingkup sosiologi politik. Dalam
operasionalnva, cakupan materi sosiologi politik terwujud dalam
beberapa hal: (1) sosialisasi politik; (2) partisipasi politik; (3)
perekrutan politik; (4) komunikasi politik.
1. Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik adalah suatu proses agar
setiap individu atau kelompok dapat mengenali sistem politik dan
menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta
reaksi-reaksinya terhadap fenomena-fenomena politik.
Kerja
sosialisasi politik meliputi pemeriksaan mengenai lingkungan kultural,
lingkungan politik dan lingkungan sosial individu maupun kelompok.
Dengan demikian, sosialisasi politik merupakan landasan sosiologi
politik selain yang terpenting juga memegang peranan utama dan pertama
bagi setiap tindakan politik.
2. Partisipasi Folitik
Partisipasi
politik ialah keterlibatan individu atau kelompok pada level terendah
sampai yang tertinggi dalam sistem politik. Hal ini berarti bahwa
partisipasi politik merupakan bentuk konkret kegiatan politik yang dapat
mengabsahkan seseorang berperan serta dalam sistem politik.
Dengan
demikian, maka setiap individu atau kelompok yang satu dengan yang
lainnya akan memiliki perbedaan-perbedaan dalam partisipasi politik;
sebab partisipasi menyangkut peran konkrit politik di mana seseorang
akan berbeda perannya, strukturnya dan kehendak dari sistem politik yang
diikutinya.
3. Perekrutan Politik
Pengrekrutan
politik adalah suatu proses yang menempatkan seseorang dalam jabatan
politik setelah vang bersangkutan diakui kredibilitas dan lovalitasnya.
Perekrutan politik merupakan konsekuensi logis dalam memenuhi
kesinambungan sistem politik dan adanva suatu sistem politik yang hidup
dan berkembang.
Dalam operasionalnya, perekrutan politik dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama,
perekrutan yang bersifat formal yakni ketika seseorang menduduki
jabatan politik direkrut secara terbuka melalui ketetapan-ketetapan yang
bersifat umum dan ketetapan-ketetapan itu disahkan secara bersama-sama. Perekrutan ini dilaksanakan melalui seleksi atau melalui pemilihan. Kedua,
perekrutan tidak formal yakni usaha seseorang tanpa suatu proses
terbuka sehingga seseorang itu mendapatkan kesempatan atau mungkin
didekati orang lain untuk diberi posisi-posisi tertentu.
4. Komunikasi Politik
Komunikasi
politik ialah suatu proses penyampaian informasi politik pada setiap
individu anggota sistem politik atau informasi dari satu bagian sistem
politik kepada bagian yang lainnya, dan informasi yang saling diterima
di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik.
Informasi
tersebut bersifat terus-menerus, bersifat pertukaran baik antara
individu, individu ke kelompok maupun kelompok ke kelompok yang
dampaknya dapat dirasakan oleh semua tingkatan masyarakat. Informasi itu
bisa dalam bentuk harapan, kritikan, reakasi-reaksi masyarakat terhadap
sistem politik dan pejabat politik. Atau suatu harapan, ajakan, janji
dan saran-saran pejabat politik kepada masyarakatnya yang berdampak
terhadap perubahan atau nwmperteguh tindakan-tindakan politiknya agar
dilaksanakan stau tidak dilaksanakan.
Landasan-landasan
di atas merupakan proses-proses politik yang mesti ada dan berjalan
dalam suatu sistem politik dan embaga-lembaga politik ketika akan, dan
pasti, berurusan dengan
MASYARAKAT DAN POLITIK
A. Hubungan Masyarakat dan Politik
Dalam kerangka dimensi-dimensi sosial masyarakat, akan selalu
terkait dengan politik. Dimensi politik dalam masyarakat, menurut Franz
Magnis Suseno (1991) nkan mencakup lingkaran-lingkaran kelembagaan
hukum dan negara serta sistem-sistem nilai dan ideologi-ideologi yang memberikan legitimasi ” kepadanya.
” Sepintas
lalu, pernyataan di atas memberikan alasan kemustahilan jika masyarakat
terpisah dengan politik. Politik dan ” masyarakat, atau sebaliknya,
adalah dua sisi mata uang; kendati saling berbeda titik tekannya namun
ia tak mungkin terpisahkan ” dalam realitas sosialnya, baik untuk jangka
pendek maupun untuk 1 jangka panjang, baik pada lingkup individu maupun kelompok.
Menurut Deliar Noer terdapat hubungan masyarakat dengan politik
pada aspek kekuasaan. la menegaskan bahwa prasyarat “; adanya kekuasaan
ditengah masyarakat kecuali adanya masyarakat yang menguasai pada satu
pihak dan adanya ” masyarakat yang dikuasai pada pihak lain. Suatu
pengaruh atau ” wibawa seseorang yang menguasai dibentuk dan diberikan
oleh orang-orang yang dikuasainya.
Pendapat
di atas menggambarkan hubungan masyarakat I dengan politik pada aspek
kekuasaan. la menegaskan bahwa prasyarat adanya kekuasaan ditengah
masyarakat kecuali adanya : masyarakat yang menguasai pada satu
pihak dan adanya masyarakat yang dikuasai pada pihak lain. Suatu
pengaruh atau wibawa seseorang yang menguasai dibentuk dan diberikan
oleh , orang-orang yang dikuasainya.
Pengertian
di atas tidak semata merujuk kepada masyarakat modern, melainkan
menunjukkan pula kepada masyarakat tradisional yang telah terjadi secara
turun-temurun sepanjang sejarah kehidupan manusia. Hubungan itu tentu
pula berada dalam unit yang sekecil-kecilnya, seperti kita kenal dalam
Islam bahwa apabila ada tiga orang bepergian maka hendaklah ditunjuk
salah satunya jadi pemimpin. Cerminan doktrinal Islam tersebut
merefleksi kepada apa yang disebut pemimpin keluarga, pemimpin Rukun
Tetangga, begitu seterusnya sampai kita jumpai pemimpin negara.
Hubungan
masyarakat dan politik dilihat dari kegunaannva memiliki makna
pengaturan. Seperti disebut oleh Franz Magnis Suseno (1991 : 20),
hubungan itu mempunyai dua sesi fundamental. Pertama, manusia adalah
makhluk yang tahu dan mau. Kedua, makhluk yang selalu ingin mengambil
tindakan. Dalam upaya pengaturan hasrat (tahu, mau dan tindakan) itu
diperlukan suatu lembaga pengaturan dengan jenisnya yang bermacam-macam :
ada yang disebut kerajaan, negara, kabilah dan lain sebagainya.
Apa
yang ditegaskan Suseno itu mencirikan suatu hubungan masyarakat dan
politik ke dalam bentuk, singkatnya adalah negara.’ Dengan adanya negara
menunjukkan adanya keterikatan seseorang pada peraturan-peraturan yang
berlaku, peraturan-peraturan secara umum maupun secara khusus.
Undang-undang perpajakan, penghasilan, undang-undang tentang organisasi
politik dan organisasi kemasyarakatan; undang-undang larangan terhadap
berdirinya partai komunis; dan lain sebagainya merupakan aturan-aturan
yang muncul dari rahim negara (dibuat oleh pemerintah) untuk menciptakan
tertib berpolitik di antara masyarakat dari lapisan yang
terendah-rendahnya kepada lapisan yang setingi-tingginya.
Secara deskriptif Soemarsaid Moertono (1985) melukiskan peranan negara dalam masyarakat, sebagai ber’kut.
“Tak
ada ruang bagi penyesuaian sekehendak hati maupun timbal balik atau
suatu perdamaian/kerukunan dan mencocokkan yang menyenangkan;
sebaliknya, alam semesta diatur dengan ketentuan-ketentuan yang keras
dan tegar tanpa ampun. Penyimpangan dari padanya akan
menimbulkan serangkaian reaksi yang mungkin sampai kepada hal-hal yang
mencelakakan. Dan sini jarak sudah pendek sekali untuk sampai pada
keyakinan akan berlakunya nasib. Karena itulah orang jawa tidak akan
menganggap negara telah memenuhi kewajiban-kewajibannya bila ia tidak
mendorong suatu kententraman batiniah (tentrem, kedamaian dan ketenangan hati) maupun mewujudkan tata tertib formal seperti peraturan negara.”
Kutipan
di atas menunjukkan, bahwa politik (negara) selalu berhuhungan dengan
masyarakat dalam pengertiannya yang amat kompleks dan menveluruh. la
tidak hanya berhubungan dengan pengtituran-pengaturan yang sifatnva profan
(nampak), bahkan persoiilan ketentraman dan kedamaian batiniah
sekiilipun sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Kendati yang
dicontohkan dalam kutipan di atas adalah masyarakat Jawa, namun
negara-negara tradisional dan modern dimanapun lebih kurang akan
memiliki hubungan yang sama; bahwa demikian kompleksnva hubungan negara
(politik) dengan masyarakat.
Dengan
kata lain, setiap anggota masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari
ikatan-ikatan peraturan-peraturan yang diadakan oleh negara. Secara umum
juga dapat dikatakan bahwa seseomng jelas-jelas tidak dapat
menghindarkan dari hidup bernegara. Sebab, jangankan masih hidup, ketika
ia meninggal saja ia tetap berhubungan dengan negara, yakni dengan izin
penguburannva misiilnya. Inilah yang menunjukkan pentingnya negara yang
terkadang dapat lebih besar hubungannya ketimbang peran organisasi
subordinatnva seperti perkumpulan olahraga atau organisasi politik
(partai) dan organisasi kemasyarakatan.
Eratnya
hubungan masyarakat dan politik, juga digambarkan oleh Stevan Lukes
(dalam Miller & Seidcntof, e.d., 1986) sebagai ‘berikut.
“Mengapakah
seseorang harus membentuk suatu ikatan terhadap aparat administratif
yang memonopoli kekuasaan sah dalam wilayah tertentu? Simbol-simbol
seperti akan bersatu dalam kehidupan hanya apabila mereka menjadi
simbol-simbol negara; yang penting bukanlah mesin pemerintahan melainkan
bahwa orang harus mempunyai rasa untuk berbagi nasib politik dengan
orang lainnya, suatu keinginan untuk bersatu dengan mereka secara
politis dalam suatu negara dan kesiapan untuk terikat pada tindakan
politik bersama.” llustrasi tersebut menjelaskan bahwa hubungan politik
dan masyarakat sangat berarti untuk terdapatnya masyarakat bersatu serta
agar masyarakat memiliki identitas diri yang mendorong rasa memiliki
terhadap identitas bersamanya itu (nasionalisme) Secara sederhana
hubungan itu dapat dirinci sebagai berikut:
1. Sebagai simbol kebersamaan
2. Sebagai wujud identitas bersama
3. Sebagai wahana tumbuhnva perasaan dan senasib
4. Sebagai wahana ikatan dalam bertindak.
Maka
politik, dalam kerangka kecil maupun besar akan mengarahkan
fungsi-fungsi hubungan antara anggota masyarakat sehingga setiap diri
masyarakat selalu mendapatkan kesempatan, peluang, wadah aktualitas,
pengaturan dan penerbitan. Bahwii secara ekstrim, melalui hubungan
masvarakat dan politik dapat menimbulkan suatu permusuhan dan peperangan
andai hubungan itu dilepaskan dari kerangka-kerangka nilai yang berlaku di tengah masvarakat.
Perang dunia I dan dunia II yang disusul dengan Perang dingin ( Ketegangan hubungan antara kekuatan liberal dan komunis )
sesungguhnya merupakan refleksi hubungan masyarakat (dunia) dengan
politik. Tetapi politik tersebut telah ternodai oleh lepasnya
ikatan-ikatan moral dan telah lepas dari substansi politik dalam
fungsinya untuk tertib bermasvaraka.t, sehingga politik pada akhirnya
berekses pada pemusnahan suatu masvarakat oleh masyarakat yang lainnya.
Namun demikian, hal ini tetap harus diakui sebaga; .r-bungan antara
masyarakat dan politik, kendati pada kerangka nilai harus dipisahkan
mana hubungan yang dapat dibenarkan dan mana hubungan vang tidak
terpuji.
Namun
seperti diungkapkan oleh Carlto • J.H. Hayes (1950: 128), untuk
menghindari pertentangan nilai dalam hubungan itu, maka hubungan
masyarakat dan politik dapat dirumuskan sebagai kekuatan yang memupuk
simpati antar anggota masyarakat seperti pengabdian bersama, perbaikan
dan pembaharuan serta rasa pembelaan kepada wilayah, kebudayaan dan
kekayaan alam lingkungannya.
Timbal Balik Antara Masyarakat dan Proses Politik
Proses-proses
politik sebagaimana telah diuraikpin terdahulu •bagai landasan
konseptual) oleh Rush & Althoff (1995: 22-25) esungguhnya harus
dipahami sebagai proses politik yang melahirkan timbal balik antara
masyarakat satu pihak dan politik di pihak lain.
Melalui
sosialisasi politik, masyarakat akan mengenali suatu sistem politik
yang berlaku di sekitarnya sehingga masyarakat inemberikan reaksi
terhadap gejala-gejala dari sistem politik itu. Di sini masyarakat akan
mengetahui proses polilik dari segi strukturnya, perilaku yang
dikehendakinya dan lain sebagainya. Pemilihan umum (Pemilu) sebagai
bagian dari proses politik di Indonesia akan dapat diikuti
tahapan-tahapan dengan baik apabila masyarakatnya telah mengenali Pemilu
dari segi keharusan-keharusannya dan dari segi larangan-larangannya.
Pengenalan ini sangat berguna bagi masyarakat, yakni mengenali, dan bagi
proses politik telah memiliki ruang untuk dikenali masvarakat sehingga
proses politik tidak canggung untuk disosialisasikan.
Begitu pula yang terjadi pada partisipasi politik, suatuu proses politik akan berjalan baik dan akan memberikan makna bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat manakala
masvarakat akan berarti bagi masyarakat itu sendiri dalam rangka
menghapus kesan dirinya terasingkan dalam proses politik yang akan
dijalankan oleh negara umpamanya.
Hal
yang sama terjadi pada pengrekrutan politik. Dengan pengrekrutan maka
sistem politik akan kuat, mendapatkan dukungan dan mendapatkan wilayah
geraknya. Dengan direkrutnya masyarakat ke dalam proses politik, maka
masyarakat akan menemukan legitimasi dan kewibawaan dalam menentukan
aktulisasi peran dirinya tanpa merasa berposisi yang dikesankan
masyarakat dan bernegara” di zaman kuno sebagaimana tlilukiskan oleh
Larry Siedentof (dalam Miller & Siedentof, 1986) Pada
komunikasi politik, timbal balik masyarakat dan proses –Politik
barangkali dapat disebut sebagai timbal balik yang paling mudah
menemukan wujudnya. Pengrtian-pengertian, harapan, janji, ancaman yang
dikeluarkan masyarakat untuk negara atau partai politik, atau oleh
negara dan partai politik kepada masyarakat sesuatu yang paling mungkin
terjadi melalui komunikasi politik. Di sini harus diakui bahwa
komunikasi politik tak sekedar media penyerapan informasi, lebih dari
itu sebagai arena pemupukan kesadamn bagi masyarakat dan bagi proses
politik itu sendiri. Faktor tingkah laku masyarakat yang dapat dipahami
dengan baik oleh sebuah proses politik yang dijalankan, akan berguna
sebagai referensi tindakan-tindakan politik yang nontinya baik input
maupun output berguna bagi masyarakat dar. efektif bagi proses itu
sendiri.
Timbal
balik antara masyarakat dan proses politik itu secara niscaya dapat
dikatakan agar proses politik tidak berjalan sekehendaknya, melainkan atas dasar pertimbangan-pertimbangan
masyarakat baik yang berposisi selaku subjek politik maupun objek
politik. Secara mengesankan Magnis-Suseno (1986:152) mengatakan sebagai
berikut: “Pembangunan politik harus yang dituntut oleh pendekatan sistem
bekerja sama dengan dan berdukung pada subsistem-subsistem yang ada,
pada kekuatan-kekuatan yang bekerja. Pembangunan politik tidak secara
kasar mencampuri proses-proses hidup, melainkan penuh hormat, dalam
kesadaran tahu diri, menyesuaikan diri dengan apa yang sudah ada.”
Kutipan
di atas mencerminkan bahwa agar proses politik memiliki hubungan timbal
balik dengan masyarakat, maka proses politik hendaklah memperhatikan
realitas kultural masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh, pemerintah
Indonesia pernah melakukan tindakan politik (yang tak sekedar tindakan
ekonomi) dengan mengesahkannya SDSB. Masyarakat Indonesia yang agamis
menolaknya dan karenanya timbul gelombang unjuk rasa yang amat dahsyat.
Pemerintah menarik kembali SDSB. Contoh ini menunjukkan bahwa proses
politik yang diambil oleh suatu kelompok atau pemerintah yang proses itu
bertentangan dengan masyarakat, maka akan menimbulkan anarkis yang
menggetirkan. Dan hal ini sebagai bukti bahwa suatu proses politik yang
tak mencerminkan hubungan timbal balik antara kepentingan politis disatu
pihak dan kepentingan masyarakat pada pihak lain akan berakhir secara
mengenaskan.
Dengan
adanya timbal balik itu, secara gamblang diakui oleh Clifford Geertz
(1992: 144), bahwa proses-proses politik tak sekedar menampakkan wujud
institusi formalnya, namun lebih dari itu proses politik akan memaklumi
setiap kehendak masvarakat, dan seyogyanya kehendak itu dijabarkan oleh
proses politik itu sendiri. Sebab, apa vang dikhawatirkan oleh Geertz,
apabila proses politik sudah mengenvampingkan realitas kultural realitas
masyarakat, walaupun proses proses politik dirasakan sangat penting,
maka dengan sendirinya masyarakat dapat mengenyampingkannya bahkan
mungkin secara mengkristal berbuntut perlawanan.
Suatu
hubungan timbal balik akan dirasakan oleh masyarakat dan negara dalam
melakukan proses politiknya, menurut Vie George Paul Wilding (1992: 21)
apabila proses politik tak sekedar mencerminkan para elite strategis
negar itu saja, lebih dari itu harus ada kesediaan untuk mencerminkan
kehendak masyarakat, walau mungkin kehendak itu secara relatif dipandang
menghalangi proses politik yangseharusnya. Di sini, negara, tegas
George & Wilding, tinggal memilih sebuah konsekuensi yang termudah;
apakah mengenyampingkan kehendak politiknya atau justru kehendak
masyarakatnya. Kendati jalan mengkompromikan jelas lebih baik karena
pada upaya itu upaya timbal balik dapat din-iaknai secara lebih
mengesankan, teruji dan terpuji.
Jalan
ke luar di atas sangat penting, mengingat kehidupan politik menurut
Ibnu Khaldun (dalam Zainuddin, 1992: 93), dengan segala kelebihan dan
kekurangannya adalah suatu keharusan dalam kehidupan masyarakat. Tanpa
kehidupan dan proses politik yang timbal balik, maka kehidupan
masyarakat tak akan teratur. Tolong-menolong untuk kepentingan mencapai
tujuan bersama tidak akan terealisasikan. Karena itu, proses politik
harus dipahami sebagai mekanisme yang menjadikan masyarakat segala
kehidupannya berjalan lancar.
Dengan
demikian, timbal balik antara masyarakat dan proses Politik itu tidak
semata-mata diukur oleh saling pengertian dan memahami hakikat
masyarakat dan hakikat politik yang dijalankan, namun lebih dari itu
memahami dan memenuhi keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan. Bahwa
masvarakat hendaklah menjalankan fungsinya sesuai dengan proses politik
vangdijalankan , dan proses politik yangada hendaklah merupakan
refleksi dari merealisir keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan
vang ada dalam masyarakat secara adil dan penuh perikemanusiaan.
Timbal
balik antara masyarakat dan proses politik lebih dari yang telah
dipaparkan, sebagaimana dikerangkakan oleh Maurice Duverger (1993 : 351)
hendaklah mencerminkdn suatu solidaritas antar keduanya. Sebab pada
solidaritas itu, tegas Duverger, merupakan akibat dari struktur
komunitas hidup, dimana setiap individu membutuhkan orang lain di dalam
suatu jaringan hubungan yangsaling masuk dengan yang lainnya.
Dengan
kata lain, haruslah dipandang bahwa antara masvarakat dengan proses
politik merupakan. komunitas hidup yakni komunitas negara yang karena
ada keduanya tatanan kehidupan akan berjalan secara normal asalkan
keduanva mencmpatkan dalam posisi sejajar dalam suatu hubungan yang
saling membutuhkan, saling terkait dan saling menentukan. Barangkali
proses politik Indonesia merdeka tak pernah terwujud sampai hari ini
apabila masyarakat saat itu tak membutuhkan kemerdekaan. Kehendak
politik melalui tanpa masyarakat niscaya proses politik akan berjalan
hampa. Begitu sebaliknya, masyarakat saja tanpa adanya proses-proses
politik vang dilalui, terutama diplomasi, tentu Indonesia merdeka akan
menjadi sebuah mimpi masyarakat sampai hari ini.
Onghokham
dalam karyanya “Rakyat dan Negara” (1991), sampai secara tuntas mencoba
menelusuri hubungan timbal balik antara proses politik vang ditempuh
oleh negara dengan rakyat (masyarakat) sebagai unsur kekuatan
dominannya. Onghokham dalam karyanya itu sempat mengidentifikasi
beberapa kegagalan peristiwa politik sepanjang sejarah
Indonesia yang dirasakan lagi, akibat peristiwa itu tidak mampu
menggerakkan solidaritas masyarakat. Dan ia pun mencatat, setradisional
apapun peristiwa politik yang terjadi karena mendapatkan dukungan
masyarakat secara massif dan peristiwa-peristiwa itu oleh masyarakat
terasa menjadi tanggungjawabnya dan menjadi miliknya.
Begitu
dahsyatnya suatu timbal balik antara proses politik dengan masyarakat,
digambarkan oleh Onghokham merupakan basis penentu keberhasilah politik,
yang tidak saja terjadi di Indonesia, namun terjadi pula pada
negara-negara jajahan yang terbebas dari belenggu penjajahan.
Gambaran
Onghokham di atas sekaligus merupakan suatu jawaban yang cukup lugas
suatu hubungan politik dan nnasyarakat dimana hubungan itu terjalin
karena terdapat timbal balik antara politik dan kehendak-kehendak
masyarakat, bahkan politik dijalankan atas dasar kehendak masyarakat itu
sendiri.
0 Komentar